Dalam perjalanan evolusi perkopian di dunia, minuman kopi telah melewati fase First Wave Coffee dan Second Wave Coffee.
First Wave Coffee dimulai sebelum tahun 1960 oleh merek kopi instan seperti Nestle, Maxwell, dan Folgers di mana para produsen kopi ini telah menemukan cara untuk mengemas kopi dengan lebih baik sehingga konsumen mendapatkan bubuk kopi berkualitas dan mereka dapat menikmatinya di rumah atau kantor. First Wave Coffee adalah fase ‘kopi untuk dikonsumsi.
Di periode ini muncul beberapa pelopor brand kopi di Indonesia seperti Kopi Kapal Api (tahun 1927) dan Kopi Brontoseno (tahun 1956) dari Jawa Timur, serta Kopi Kupu-Kupu Bola Dunia (tahun 1935) dari Bali. Nama nama besar tersebut sebagian besar masih berjaya mempertahankan positioning mereka sebagai penghasil bubuk kopi terbaik di Indonesia.
Tak sampai satu dekade, muncul fase Second Wave Coffee yang dipelopori oleh Starbucks dengan sajian kopi lebih berkualitas serta penyajian kopi espresso yang makin diterima oleh penikmat kopi. Sontak bisnis coffee shop waralaba ini menjadi fenomena dan goes international termasuk merambah ke Indonesia. Budaya minum kopi di Indonesia mulai berpindah dari rumah atau kantor ke coffee shop yang menjamur di mana mana, menandakan bahwa ‘coffee business is a sunrise business’.
Jenis kopi yang dinikmati pun mengalami evolusi. Kedai kedai waralaba internasional ini memiliki andil mengubah taste dan coffee preference konsumen Indonesia. Yang tadinya lebih didominasi oleh kopi tubruk dan kopi instan, di fase ini mulai muncul genre baru dalam minuman kopi, seperti Frappucino yang dalam waktu singkat memenangkan hati para penikmat kopi di Indonesia, espresso atau americano. Berbagai terminologi yang tak pernah ada sebelumnya, pelan pelan terasa terbiasa di kalangan pengunjung coffee shop, seperti ukuran ukuran gelas yang ditandai dengan nama Grande, Tall, Venti.
Kopi yang dahulu dikenal sebagai minuman kaum pria dan bapak-bapak, mendadak sekarang dikonsumsi oleh semua kalangan bahkan sampai ke usia remaja. Kafe pun menjadi tempat pertemuan untuk membahas pekerjaan, peluang bisnis, maupun sekedar menghabiskan waktu bersama orang terdekat. Second Wave Coffee identik dengan fase ‘kopi untuk dinikmati’
Di Third Wave Coffee inilah kopi makin bersinar. Sejak awal tahun 1990, para peminum kopi tak lagi hanya ingin menikmati, tapi juga ingin tahu lebih banyak tentang perjalanan kopi sejak dipanen hingga tersaji. Mereka mulai paham bahwa secangkir kopi mengandung ‘cultural experience’ yang panjang. Ada jejak kerja keras dan proses panjang para petani kopi sejak menanam hingga memanen. Mereka berjuang melindungi tanaman mereka dari factor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kualitas dan cita rasa kopi. Bagi mereka, tanaman kopi adalah anak mereka sendiri yang harus dilindungi agar dapat tumbuh maksimal. Sejak dipanen hingga disajikan, kopi perlu melalui tahap pemrosesan hingga 2000 jam atau sekitar tiga bulan. Selalu ada cerita penuh kasih dari tangan tangan yang telah menanam, memanen, mensangrai, hingga cara barista mengeksplor keunikan karakter kopi … Inilah fase ‘kopi untuk diapresiasi’.
Difase ini pula muncul istilah Single Origin, dimana kopi memiliki identitas unik berdasarkan daerah ataupun kebun, hal ini agar kopi bisa dikenali secara spesifik asal kebunnya, ketinggian tanam, varietasnya, bahkan sampai proses pasca panennya. Indonesia sendiri memiliki cukup banyak Single Origin yang mendunia, beberapa yang sudah mendapatkan sertifikasi indikasi geografis lain Sumatra Mandailing, kopi Luwak yang berkelas premium, Bali Kintamani, Kopi Toraja, Flores Manggarai, Aceh Gayo dan masih banyak lagi. Selain itu, ada juga Single Origin lain meskipun belum mendapatkan sertifikasi indikasi geografis, Namur tidak kalah populer seperti Gunung Puntang yang pernah mendapatkan skor dan harga tertinggi pada lelang kopi di Amerika, kopi Malabar dari Jawa Barat yang juga sempat popular dikalangan Specialty Cafe tahun 2015-2016 lalu, dan kopi-kopi lainnya yang bisa ditemui di banyak kafe di Indonesia saat ini.
Bicara tentang Third Wave Coffee, tentu tak lepas dari Specialty Coffee yang belakangan naik daun dan makin memantapkan posisinya sebagai kopi pilihan untuk dinikmati dan diapreasiasi. Penikmat kopi kini makin terbuka untuk menghargai konsep coffee culture di mana setiap biji kopi terbaik memiliki jejak social interaction of cultures.Tidak mudah untuk mendapatkan predikat Specialty Coffee bagi kopi yang dihasilkan petani, serangkaian proses mulai dari penanaman, panen, proses pasca panen, hingga roasting harus sangat diperhatikan agar saat pengujian bisa mendapatkan cupping score di atas nilai 86.
Peran roasters pun menjadi sangat penting di fase Third Wave ini. Para roasters sudah bisa diibaratkan sebagai ilmuwan karena harus memahami proses perubahan kimia yang terdapat pada kopi selama proses roasting terjadi. Yang lebih sulit lagi, tidak ada 1 pun rumus tetap yang bisa dipakai untuk menyangrai semua biji kopi, bahkan biji kopi yang berasal dari kebun yang sama. Roasters memiliki kebebasan dalam meproses biji kopi dan mengeluarkan seluruh sisi baik kehangatan dan eksotisme biji kopi. Saat roaster menaruh biji kopi di mesin roasting, saat itulah ia memulai perjalanan pribadinya menyajikan biji kopi terbaik untuk para barista dan brewers.
Di mata rantai terakhir adalah para barista dan brewers yang menyeduh kopi dengan sepenuh hati untuk memastikan ‘secangkir kenikmatan’ disajikan bagi para coffee enthusiasts. Ada ritual dan sensualitas yang membuat kopi tersaji sangat personal dalam bagian akhir dari rangkaian coffee culture ini. Di tahap ini, barista bertanggung jawab mengeluarkan semua sisi kopi yang terbaik, agar seluruh karakter dan citarasa kopi seperti tekstur, aroma dan rasa alami seperti floral, tropical fruit, coklat dan honey sweetness muncul dan tersaji dalam secangkir kopi untuk memberikan after taste yang menyenangkan dan mengajak penikmat kopi menuntaskan teguk demi teguk. Bukan hanya sekedar menyajikan kopi, barista dan brewers pun wajib membagikan cerita tentang kopi, mengenali keinginan konsumen dan pada akhirnya membuat konsumen tersenyum setiap kali selesai meneguk kopinya.
Di Indonesia Specialty Cafe sudah mulai merebak hampir di setiap kota besar. Coffee shop besar dan kecil makin menjamur seiring dengan meningkatnya daya beli dan apresiasi penikmat kopi terhadap kopi kopi spesial. Global trend Specialty Coffee disikapi oleh para pebisnis kopi Indonesia dengan melakukan kerja sama yang makin baik dan dekat dengan para petani. Komunikasi dijalin dengan baik untuk memastikan ke dua belah pihak mewujudkan impiannya. Petani merasa dihargai atas jerih payahnya membudi dayakan biji kopi spesial dan pebisnis dapat membangun coffee culture yang penuh dengan saling menghormati peran masing masing.
Di dalam rangkaian Specialty Coffee, semua orang adalah pemenang dalam coffee culture. Petani, roaster, barista, dan coffee enthusiasts. Penikmat kopi memang perlu membayar ekstra jika dibandingkan mengkonsumsi kopi konvensional. Tapi percayalah, harga yang dibayar sungguh sepadan dengan coffee experience yang dialami.
“A perfect cup of coffee is planted, harvested, roasted, and served with love”